Minggu, 09 Desember 2007

Menuju Universitas



Anakku duduk di kelas tiga SMU, yang berarti tak lama lagi, seperti jutaan anak di kelas itu, ia harus membuat keputusan penting yang konsekuensinya akan ia tanggung seumur hidupnya : Siapa yang akan jadi teman kencannya untuk pesta prom?

Juga suatu saat ia mungkin akan memilih universitas. Malah, kami sudah mengikuti kunjungan kek beberapa kampus, yang membantu dalam memiliha univerrsitas, karena kita bisa memperoleh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan akademis yang penting, misalnya :

  • Apakah ada tempat parkir ?
  • Apakah semua mahasiswa diwajibkan menindik tubuhnya ?

Atau ini hanya pilihan untuk mahasiswa S1 ?

  • Apakah ada bank di dekat kampus yang dapat dirampok untuk membayar uang kuliah ?

Kebanyakan kunjugan ke kampus mencakup sesi orientasi. Dalam sesi ini kau duduk di ruang kuliah, dan seorang pegawai kampus akan menceritakan statistik yang mengesankan tentang kampus tersebut, dan hampir selalu termasuk ukuran kelas yang kecil. Kecilnya suatu kelas selalu dianggap ukuran pamungkas mengenai mutu suatu universitas. Harvard, misalnya, memiliki nol mahasiswa per kelas : Dosennya hanya duduk sendirian di ruang kuliah, mengikir kuku.

Kuperhatikan, dalam sesi orientasi semacam ini kebanyakan anak tampak setengah bosan, sementara orangtuanya tak hanya mancatat tetapi juga paling banyak bertanya, kadang-kadang sepertinya mereka, hingga kematian si anak nanti. Biasanya ada anak yang kelihatannya baru berusia sebelas tahun, dan ayahnya mengacungkan tangan dan bertanya : “ Kalau putri saya mengambil empat jurusan dalam biologi, kimia, fisika dan persamaan besar yang menakutkan, dan ia lulus dengan pujian, lalu mendpat gelar doktor di bidang kedokteran, teknik, hukum, arsitektur, kedokteran gigi, dan pengaweatan hewan, lalu ia memenuhi persyaratan untuk beasiswa merwanger untuk kajian pasca-doktor, apakah organisasi Nobel akan membayarkan biayanya pergi ke Swedia untuk mengambil hadiahnya?”

Hatiku ciut melihat para orangtua ini. Sejujurnya, aku belum terlalu memikirkan tujuan akademis putraku. Aku bersaumsi, ia kuliah untuk alasan yang sama sepertiku, yaitu tiba satnya kita tak boleh lagi sekolah di SMU. Aku mencoba memikirkan pertnyaan untuk para peagwai kampus itu, tapi satu-satunya yang terpikir hanyalah : “Mengapa bangku-bangku kelas tak pernah dirancang untuk orang-orang kidal sepertiku ?” Tapi aku tidak menanyakan hal itu, karena menyebutkan “orang kidal” mungkin dianggap kurang “sopan” di kampus. Mungkin harus menyebutnya dengan, misalnya,”orang bertangan kiri.”

Setelah selesai sesi orientasi, kami mengikuti tur kampus yang dilakukan oleh seorang mahasiswa yang diharuskan memberitahukan nama setiap bangunan di kampus, betapapun banyaknya (“Di sana adalah Institut Gwendolyn A. Heckenswacker untuk Kajian Molluska Asia Tertentu, yang kami sebut ‘The Heck.’ Dan di sana adalah Pusat Myron dan Gladys B. Prunepocket untuk Buku-buku Tua Berlumut yang Tak Pernah Dibaca Orang. Dan tepat di sebelahnya adalah Bangunan Tepat di Sebelah Myron dan Gladys...”). Seusai tur, anak-anak diwawancarai oleh pegawai kampus. Putraku hanya manceritakan sedikit tentang apa yang terjadi dalam wawancara semacam ini. Menurut teoriku sih, para pegawai menutup pintu dan berkata: “Santai saja. Kau akan melewatkan sebagian besar waktu kuliah dengan pergi ke pesta, bermain balap karung, dan menonton Friends. Tur ini semata-mata untuk para orang-tua. Para pemandu mengarang-ngarang sendiri nama-nama bangunan itu.”

Salah satu kampus yang dikunjungi putraku adalah almamaterku, Haverford College (motto yang dibanggakan: “Salah Satu Pelopor di Negeri Ini yang Tidak mengandalkan football”). Aku sedikit gugup untuk kembali ke sana: aku takut sewaktu-waktu sang rektor akan menepuk pundakku dan berkata:”Saudara Barry, kita harus membicarakan bagian Anda dalam iuran Angkatan 1969 untuk membayar biaya membersihkan langit-langit kantin akibat dua puluh tiga ribu blok mentega.”

Untungnya, itu tak terjadi. Pemandu mahasiswa kami memberikan tur yang baik, meskipun ia tidak menunjukkan beberapa tempat bersejarah di Haverford, termasuk:

  • Bangunan di mana, pada 1967, kelompok rock “The Federal Duck” membuat penemuan bersejarah bahwa jika ia hendak memainkan “Purple Haze” dengan benar, ia memerlukan amplifier yang JAUH lebih besar;
  • Kamar asrama tempat aku dan teman sekamarku Bob Stern mengumpulkan, yang dipercayai sejarahwan, tumpukan celana dalam kotor buatan manusia yang terbesar di dunia.

Itulah kenanganku yang paling jelas, meskipun aku juga samar-samar ingat menghadiri kuliah dan mempelajari berbagai fakta jurusan Bahasa Inggris yang masih bermanfaat kapan saja topik percakapan berbelok ke—seperti yang sering terjadi—puisi metafisika Inggris Abad Ketujuh Belas. Ya, kuliah adalah pengalaman yang berharga bagiku, dan aku yakin kuliah juga akan menjadi pengalaman yang berharga bagi anakku, dimanapun ia memutuskan untuk kuliah. Maksudku, malam pesta prom akan selalu merupakan pengalaman berharga.

Tidak ada komentar: